Gayane Diskusi
Muhammad Haris*
Rasanya tampak banyak pendapat waktu mahasiswa berargumen dalam sebuah diskusi. Ini sebenarnya bagus. Seharusnya begitu. Namun, kurang nyaman didengarkan telinga. Sepertinya karena mereka jarang baca buku, yang muncul dalam diskusi kebanyakan asumsi-asumsi, nalar tanpa landasan dan bisa dikatakan semacam kurang logis.
Aku pun tidak serta-merta menjustifikasi mereka. Aku pernah seperti mereka juga. Pernah ngotot dengan pendapat sendiri. Merasa paling benar pendapat sendiri. Menganggap pendapat orang lain salah, tidak masuk akal, dan lainnya. Belakangan yang aku lakukan itu ada istilahnya loh, saurna mah: solipsisme.
Sampai pernah aku berdiri sambil nunjuk moderator, refleks dan bilang: sang moderator, harusnya jeli donk, harus tegas, lebih teliti dan adil, ini pertanyaanku belum jelas jawabannnya, kok sudah ganti pertanyaan lain! Terjadi sekitar September dua ribu enam, semester satu. Aku jengkel banget waktu itu. Membekas sampai saat ini.
Herannya, sang Dosen pun membiarkan moderator untuk melanjutkan proses diskusi ke sesi selanjutnya. Aku menganggap hal itu anomali. Bukan karena aku ingin menjadi fokus perhatian. Jelas-jelas pertanyaanku (yang belum terjawab dengan jelas, tidak bisa dipahami), tiba-tiba moderator menganggap sudah cukup dan dilanjutkan ke pertanyaan yang lain. Itu saja. Menurutku itu bukan diskusi. Itu cuma formalitas diskusi. Gayane diskusi, padahal ga. Lebih tepatnya, tanya-jawab, bukan diskusi.
Rukun Diskusi
Setidaknya mereka (mahasiswa, red) sudah mencoba memberikan pemikiran dan berfikir untuk merespon diskusi yang sedang berlangsung.
Menurut pendapatku, aku memprediksi ini akan terus terjadi kapan pun dan dimana pun. Aku mencoba menawarkan untuk mewujudkan diskusi yang berkualitas minimal ada tiga rukun diskusi. Pertama, murni, Kedua, bahasa sendiri, Ketiga, kesimpulan jelas.
*Adalah Direktur Utama INSMAP.
Leave a Comment